Selasa, 13 Januari 2015

PENGALAMANKU......

Seiring dengan perkembangn teknologi, permasalahan yang kita hadapi sudah barang tentu semakin kompleks dan kita semakin sulit untuk menghindar dari masalah tersebut. Sudah dapat dipastikan, setiap individu yang ada di dunia ini pasti semua bermasalah, tergantung masalah yang dihadapi tersebut seperti apa.
Banyak orang yang merasa keberatan dengan masalah yang dihadapi meskipun masalah tersebut termasuk masalah yang ringan, namun sebaliknya, banyak juga orang yang merasa masalah yang dihadapi tersebut ringan meskipun masalah yang dihadapi termmasuk masalah yang berat. Semua tegantu bagaimana kita mensikapi dan menghadapi masalah tersebut.
Anggap saja masalah yang kita hadapi tersebut ibarat obat yang rasanya pahit, yang rasa pahitnya akan segera hilang. Karena setiap masalah pasti ada penyelesaiannya, kalau kita merasa yakin akan selesai maka pasti juga akan selesai. Orang bilang, "di mana ada keinginan pasti ada jalan". Kalau kita bersikap sabar, ikhlas, siap hadapi segala kemungkinan yang terjadi, maka kita akan dapat melalui dan selesaikan permasalahan yang kita alami.
Sering kita dengar orang berkata, bahwa sabar itu ada batasnya, namun sebenarnya kesabaran itu tidak ada batasnya dan tidak ada habisnya, cuma kemampuan orang untuk bersabar itu berbeda, seberapa besar kemampuan orang tersebut untuk bersabar. Apalagi sebagai orang tua, kita tentu sering hadapi anak-anak kita yang mungkin membuat kita meras risih atau bahkan jengkel dengan kelakuannya.
Setiap hari saya sering berhubungan dengan anak-anak yang sangat luar biasa, sangat sulit diatur dan sering membuat kesabaran teruji. Jangankan dengan gurunya, dengan orang tuanya saja berani menipu tau bahkan yang lebih parah, menganggap ibunya tidak ada. Ini sudah saya temui ditahun lalu, ada seorang anak yang dengan lantangnya mengatakan "SAYA TIDAK BANGGA DENGAN ORANG TUA SAYA". Seharusnya anak tersebut berkata "SAYA BANGGA DENGAN KEDUA ORANG TUA SAYA, MESKIPUN KEADAANNYA DEMIKIAN DAN DEMIKIAN".
Saudaraku, semoga apa yang sudah saya tuangkan ini dapat kita ambil pelajaran, sebagai otang tua saya merasa sangat prihatin dengan keadaan sikap dan tingkah laku anak-anak saat ini. Mari kita jaga dan kita rawat betul apa yang sudah diamanahkan oleh ALLAH ta'ala kepada kita. Apa yang saya tulis ini sesuai pengalaman pribadi selama beberapa tahun terakhir. TERIMA KASIH......

AYAHKU BUKAN USTADZKU

Bisa jadi dan sangat mungkin ayah adalah sosok tak berilmu, tak hafal dan paham al-Qur’an, dan tak pernah duduk di majelis ilmu. Dan barangkali begitu pula dahulu keadaan leluhurnya walaupun pelaksanaan kewajiban shalat, zakat, dan lainnya tetap terlakasana.
Ayah pula adalah sosok yang berterik mentari di luar sana, bekerja di ladang. Keringatnya selalu saja membasahi pakaiannya untuk tetap menjadi penopang ekonomi keluarga sehingga tak berkesempatan mengajak atau mengajarkan engkau ayat-ayat langit, kalam-Nya yang mulia.
Atau ianya adalah sosok selalu tersapu oleh udara AC dalam ruangan untuk bergulat dengan lika-liku pekerjaan kantor yang menumpuk demi mencari sesuap nasi untuk keluarga. Hanya lemah dan letih tersisa di rumah. Ujungnya, dahulu, pendidikan agamamu begitu terabaikan, tak tersentuh.
Dan kini, ayah hanya menjadi kenangan tersimpan apik dalam album memori karena Allah berkehendak bahwa dialah yang lebih dahulu menghadap Rabb alam semesta.
Tetapi itu adalah ketetapan langit dan telah terjadi. Ingatan masa lalu yang membulirkan air mata tak akan pernah sedikitpun mengubah suratan takdir selamanya. Biarlah, biarlah itu menjadi alur masa silam yang telah terkisahkan untuk menjadi momen berharga di hari ini dan di hari esok sambil menggerombolkan do’a untuk ayah dan para leluhurnya.
Lebih dari itu, ada segenggam tugas yang tersirat dalam petikan takdir, sebuah PR di akhir zaman ini untuk menjadikan diri lebih berkualitas dan berkemilau dari segi ilmu sebagai bekal terindah dan berharga untuk anak-anak kita kelak. Sehingga mereka tak hanya berada dalam pangkuan dan semata buaian namun larut jua dalam pendidikan kita sebagai ayahnya, sebagai ustadznya.
Jika menengok cermin mutiara masa lalu yang indah bercahaya nan harum semerbak, didapati tak sedikit para ulama lahir dari madrasah dan didikan berkualitas sang ayah.
Ahmad bin ‘Abdul Halim namanya yang lebih tenar dengan panggilan Ibnu Taimiyyah, sang Syaikhul Islam yang karya-karyanya melintasi dimensi waktu. Ianya adalah mutiara dan bintang zaman yang terdidik apik dalam mercusuar ilmu sang ayah.
Mata kami terkagum terkagum dan berbinar karena ianya adalah keluarga bintang yang menyinari cahaya Islam dengan wasilah ilmu. Tentang keluarganya, para ulama menyebutkan:
كان جده كالقمر وكان أبوه كالنجم وكان هوا كالشمس
Seperti rembulan kakeknya, bak bintang ayahnya dan Ibnu Taimiyyah sendiri ibarat mentari.”[1]
Para ulama menyebutkan dalam biografi Ibnu Taimiyyah bahwa diantara ratusan gurunya, ilmu sang ayah lah yang paling banyak ia serap.[2].
Kakek dan ayahnya adalah seorang ulama dan mereka saling mewarisi ilmu turun temurun dalam keluarga. Sang ayah menjadi ustadz sang anak dan sang anak menjadi murid sang ayah.
Begitu pula para salaf dahulunya, anak-anak mereka adalah murid pertama dan utama yang menjadi objek pengajaran di rumah. Dengan kata lain, mereka adalah guru dan ustadz untuk anaknya masing-masing, tak semata hubungan anak dan ayah.
Kami menemukan ungkapan imam Malik yang mengisahkan keindahan pengajaran para salaf untuk buah hati di rumah mereka. Imam Malik mengatakan:
كان السلف يعلمون أولادهم حب أبي بكر وعمر كما يعلمون السورة من القرَآن
Dahulunya para salaf mengajarkan anak-anak mereka untuk mencintai Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana mengajarkan surat dalam al-Qur-an.”[3]
Mereka telah mampu menciptakan episode dan kenangan terindah bagi anak-anak untuk menjadi bekal mengarungi kehidupan. Dan ini tumbuh dari dorongan iman jauh sebelum menikah bahwa anak-anak mestilah menjadi murid bagi sang ayah.
Beranjak lebih dekat lagi ke zaman nubuwwah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menyebutkan akan ada hari-hari di akhir zaman nanti dimana ilmu lenyap terangkat, lantas para sahabat bertanya keheranan:
كيف يذهب العلم وقد قرأنا القرآن وأقرأناه نساءنا وأبناءنا
Bagaimana mungkin ilmu lenyap sementara kami membaca al-Qur’an dan kami membacakannya (mengajarkannya -ed) untuk istri dan anak-anak kami?”[4]
Kepada sang Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, para sahabat mengungkapkan aktifitas ilmiah mereka di rumah bahwa mereka membaca dan mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak. Tersirat bahwa mereka adalah ustadz dan mu’allim (pengajar) bagi buah hati.
Sungguh kita tersadar, diri ini bukanlah sosok Ibnu Taimiyah yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan ‘Abdul Halim, ayahnya, hingga ia tumbuh menjadi mutiara pengemilau zaman hingga hari ini. Kita pun bukan ‘Abdul Halim seorang ulama yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan kakek Ibnu Taimiyyah yang berilmu dan mampu mendidiknya hingga ia menjelma menjadi ulama.
Tetapi harapan yang terkomposisikan dengan do’a dan usaha untuk menjadi ayah yang baik sekaligus ustadz bagi buah hati kelak akan selalu ada karena detak jantung ini masih berdegup dan ruh masih berada dalam raga.
Biarlah ingatan masa lalu bahwa “ayahku bukan ustadzku” terkenang dalam memori saja karena telah menjadi suratan takdir. Lalu diri berjanji sepenuh hati, kelak akan menjadi panutan bagi anak-anak guna berusaha menyelamatkan mereka dari api akhirat, tak hanya dari api dunia; dan menjadi pengajar agama buat mereka, tak hanya menjadi semata ayah dalam talian hubungan darah.
Siap menjadi suami dalam balutan bingkai pernikahan sejatinya siap menjadi guru bagi istri dan anak-anak. Maka “Anakku adalah muridku” mesti terpatri dalam hati semenjak kini walaupun diri tak tahu kapan ia menggenapkan separuh agamanya.
Artikel di atas disadur dari tulisan karya Fachriy Aboe Syazwiena, semoga bermanfaat.

End Notes:
[1] Lihat Taisiyr Rabb al-Bariyyah fiy Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, Dar Ibnu Jauziy, Saudi Arabia, hal 9
[2] Ibid
[3] Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnnah, juz 7, hal 1240, dalam Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah.
[4] Lihat Shahih Washaya ar-Rasul, hal 256, jilid 1, Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, Mesir.

Jumat, 09 Januari 2015

PESAN DARI SEORANG ANAK SOPIR

Sambil dengar siswa yang lagi dibimbing baca Al Qur'an, besar sekali kprihatinan yang saya rasakan. Ternyata banyak sekali orang tua yang tidak memberikan pendidikan yang baik saat di rumah. Dari kecil disekolahkan pada sekolah yang berbasis Islami, namun tidak bisa baca Al Qur'an. Dan yang paling saya rasakan, kebanyakan orang tua cuma membiarkan anaknya yang penting anak itu diam tidak protes terhadap apa yang sudah diberikan orang tua.
Sebagai contoh fasilitas yang diberikan, kadang orang tua terlena dengan keadaan anak yang secara fisik kelihatan baik dan tanpa masalah yang berarti. Sebagian besar orang tua tidak menyadari bahwa anak adalah aset yang harus dirawat dan dipelihara dengan baik. Ibarat kita mendirikan satu perusahaan, anak itu sebagai hasi produk kita yang harus kita buat sedemikian rupa sehingga harga jual dari produk tersebut menjadi tinggi.
Saudaraku, mari kita beri hak anak kita dengan baik, berilah pendidikan yang baik agar kelak anak kita dapat menjunjunga derajat orang tua, karena besok saat kita sudah dipanggil dan diminta kembali menghadap ALLAH ta'ala, anak kitalah yanga akan meringankan timbangan kita. Dengan tulisan ini saya sebagai penulis juga dalam tahap belajar. Semoga apa yang sudah saya tulis ini bermanfaat, khususnya pada diri saya pribadi dan keluarga, dan umumnya untuk para pembaca sekalian.